Saya telah menyukai puisi sejak kecil. Mungkin tepatnya saat bersekolah di sekolah dasar. Saat itu saya mengenal puisi dari guru bahasa Indonesia di sekolah. Entah apa sebabnya hingga saya begitu menyukai puisi, yang jelas saat itu saya mulai belajar membacakan puisi di hadapan orang-orang. Mula-mulanya di depan kelas hingga di depan orang banyak pada suatu acara. Saya merasakan ada suatu sensasi tersendiri yang saya senangi ketika membaca puisi. Meski gugup, tapi saya menyukainya. Saat itu aku hanya menyenangi puisi untuk sekedar membacanya, tidak berniat untuk mencoba membuatnya sendiri. Tapi saya ingat saat kelas 6 SD dulu, saya mulai membuat puisi untuk pertama kalinya. Saat itu saya hanya menulis apa yang sedang saya rasa tehadap teman-temanku di sekolah. Perasaan seorang anak kecil yang dikecewakan temannya. Sayangnya puisi itu tidak bisa saya temukan lagi sekarang.
Beranjak SMP saya semakin menyukai puisi, meski begitu saya selalu saja malas untuk mencari buku-buku puisi. Kemalasan saya itu membuat saya mulai melupakan kesenangan akan tiap-tiap kata yang dihadirkan puisi. Saya hanya membaca puisi-puisi yang ada di buku panduan mata pelajaran di sekolah. Saat di SMP saya menyukai seorang teman. Saat itu pun tanpa sadar saya menuliskan perasaan lewat sebuah puisi. Tapi saya tidak pernah memberikan puisi itu kepadanya. hanya sekedar itu, hingga akhirnya sampai sekarang orang yang pernah saya sukai itu tidak mengetahui perasaan saya kepadanya. Hahaha… saya merasa lucu sekali saat berusaha menyembunyikan perasaan saya dulu terhadapnya. Ah, sudahlah, kembali pada topic “saya menyukai puisi”.
Saat SMP itu saya tahu bahwa teman yang saya “sukai” itu pandai membuat puisi, karena saya cukup dekat dengannya, maka sebagai kenang-kenangan saya memintanya membuatkan sebuah puisi untuk saya. Sampai sekarang pun saya masih menyimpan puisi darinya. Hm, puisinya seperti ini :
HILANG
Wajah ingin tertera
Sambil membawa nafas tak terhela
Deru jiwa yang terkata
Membawa apapun untuk terhilang
Ceria….
Hilang…
Apa ini semua?
Membuat hati bingung dan tersakiti
Sifat acuh ini!
Derita dan duka!
Terus menenggelamkan hati di laut hitamku
Kenapa?!
Kenapa tak beri kesempatan?!
Malah terus menangis di atas laut ku
Hingga wajah telah hilang karena air matamu!!
Puisi yang baguskan? Saya menyukai puisi yang di buatnya. Mungkin karena itu lah sampai sekarang saya masih menyimpannya beserta memori tulisan-tulisan lain teman-teman saat SMP dulu. Karena tiap goresan yang mereka tulis untuk ku itu memiliki arti yang sangat besar. Huff, saya jadi merindukan mereka…
Baiklah kita lanjutkan. Kegemaran saya akan puisi mungkin tidak seberapa saat itu, terlebih lagi di dorong oleh rasa malas yang menjadikan puisi-puisi itu tenggelam. Memasuki masa SMA, saya mengikuti ekstrakulikuler yang saya sukai yaitu teater. Ternyata di sana, sedikit demi sediit saya kembali menemukan “rasa” akan puisi yang sudah mulai memudar. Terlebih lagi saat saya terlibat dalam kepengurusan majalah dinding sekolah, yang sekarang sayang sekali tidak saya temukan lagi ketika kembali mengunjungi sekolah saya itu, disana saya mengenal seseorang yang membuat kecintaan saya akan puisi kembali lagi.
Kehadiran nya seolah-olah menyadarkan saya bahwa selama ini saya telah melupakan puisi-puisi itu. Dia banyak mengirimi saya puisi-puisi dan meminta saya untuk membuatkannya satu tulisan. Saat itu saya bingung apa harus saya buat untuknya. Seorang guru yang saat itu menjaga perpustakaan disekolah saya, namanya ibu Lisa, beliau mengatakan kepada saya bahwa menulis puisi itu tidak harus menggunakan kata-kata puitis-puitis seperti para pujangga, cukup keluarkan apa yang sedang kita rasakan. Kehilangan, kegembiraan, kesedihan atau apapun itu, keluarkan dengan kata-kata atau tulisan yang jujur, jadi jika ada seseorang yang lain membacanya mereka dapat merasakan perasaanmu saat membuat tulisan itu. Saya sangat berterima kasih pada ibu Lisa. Sampai saat ini saya tetap mengingat nasehatnya itu. ^^
Maka, saat itu saya mulai membuat sebuah tulisan lagi. Dengan tujuan utama memenuhi janji saya pada dia. Jadilah tulisan saya saat itu, seperti ini :
Denting jam dari dinding kamarku berbunyi
Tak terasa, ternyata malam tlah terlalu larut
Namun aku masih terjaga
Mataku tak dapat terpejam meski raga ku tlah lelah
Pikiran ku melayang
Tiba-tiba aku ingat..
Saat ini, aku belum memenuhi satu janji..
Janji ku padamu.
Ku beranjak dari tempat tidurku
Ku ambil secarik kertas kosong
Ku tulis beberapa kalimat..
Aku tahu, aku bukanlah seorang pujangga
Yang punya segudang kata-kata indah
Tapi aku mencoba untuk memenuhi keinginanmu
Dam memenuhi janjiku padamu
Terangkai beberapa kalimat
Yang tak terlalu indah, tapi…
Inilah hasil karyaku
Meski bukan sesuatu yang berharga
Tapu aku tlah berhasil memenuhi janjiku…
Sebuah puisi yang standar banget kan? Tapi saya menyukainya, karna ini lah karya pertama saya lagi setelah lama melupakan puisi. Saat menerima ini, dia pun berkata padaku “jujur banget” dengan tersenyum. Saya hanya bisa tertawa dan berkata “yang penting saya gak bohong mau buat sesuatu untuk kamu kan..” ^_^
hm, kira-kira dia masih menyimpannya gak ya?? Atau malah udah lama hancur di tong sampah? Atau mungkin udah hilang gak tau jejaknya? Entahlah..hanya ia yang tahu.
Yang jelas saat itu saya mulai menyadari sebuah puisi merupakan bagian dari sebuah kejujuran.
Karna itulah saya menyukainya.
masih ada...
BalasHapushahai..
BalasHapusmakasih ko.. ^^